Dengarkan Kata Hati


Amenangi jaman edan, arep melu edan ora tahan, ora edan ora kumanan. Nanging sabejo bejane wong edan isih bejo wong sing tansah eling lan waspodo..Joyoboyo.

Sebagai awal dari tulisan ini saya mengutip pernyataan joyoboyo, yang artinya kurang lebih adalah, pada jaman yang gila ini, mau ikut gila tidak kuat, tapi kalau kita tidak gila tidak kebagian. Namun seberuntung- beruntungnya orang yang gila masih beruntung orang yang ingat dan selalu waspada.

Fenomena masyarakat sekarang, terutama yang terjadi di negara kita tercinta Indonesia, adalah terlihat semakin kasat matanya pertunjukan sandiwara dipertontonkan. Kelicikan yang dibungkus dengan agama dan intelektualitas menjadi jamak terjadi. Orang-orang yang jujur menjadi tidak berdaya, keadilan diputarbalikkan karena alasan materi. Moralitas yang ada adalah moralitas yang mengedepankan keuntungan materi dan individu. Itulah yang mungkin disebut jaman edan, jaman disaat kebenaran dan kesalahan diputarbalikkan, dimana orang-orang sudah tidak peduli lagi dengan hati nurani, sakgeleme dewe (semaunya sendiri) kata orang Jawa. 

Fenomena tersebut terjadi disemua lini, mulai dari yang bawah sampai dengan yang atas. Yang berada diatas berjuang untuk mempertahankan hartanya sekuat-kuatnya dengan melakukan kolusi bersama pengambil kebijakan serta menekan orang-orang dibawahnya. Begitu pula, yang berada dibawah juga melakukan berbagai macam cara, dari yang katanya sekedar untuk bertahan hidup ditengah kehidupan yang semakin kejam, sampai dengan alasan menggapai keinginan untuk mencapai jabatan dan kekayaan, walaupun semuanya dilakukan dengan modus yang idem dengan kalangan atas.

Carut marut tersebut ternyata lebih marut lagi dengan fenomena religius yang membungkus perbuatan licik tersebut. Hal tersebut semakin menjauhkan masyarakat terutama masyarakat awam dari agama. Fenomena yang semakin tampak akhir-akhir ini adalah semakin banyak pejabat, pemuka agama yang tenggelam dengan jaman yang edan sekarang. Padahal mereka notabene merupakan panutan masyarakat kita, masyarakat yang sebagian besar masih tradisional religius dan masyarakat yang masih sangat memegang teguh patronisme. Para pemuka masyarakat tersebut sudah semakin terbiasa mengedepankan kemunafikan dengan alasan-alasan dan dalil-dalil yang religius. Melihat panutannya yang berlaku ngedan itulah yang membuat kebanyakan orang menjadi semakin apatis dengan agama. Demikian juga terdapat komunitas masyarakat yang semakin tertekan secara ekonomi membuat gerakan-gerakan yang bernuansa religius dan radikal karena mereka dianggap mengedepankan kekerasan dalam mencapai tujuannya dengan nama agama juga. Fenomena-fenomena tersebut yang ditengarai telah membuat semakin banyak orang yang apatis terhadap agama.

Mengutip pula sebuah pernyataan seorang Romo yang akademis, Romo Magnis, yang mengatakan orang menjadi ateis lebih banyak bukan karena pemikiran filsafat atau sains, mereka menjadi ateis karena tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pengikut agama. Kekerasan disini saya maknai bukan hanya kekerasan dalam arti fisik seperti pengrusakan maupun pembunuhan tetapi juga kekerasan secara sosial, politik, ekonomi dan budaya yang dibungkus dengan agama. Hal tersebut seperti yang telah disebutkan sebelumnya banyak dilakukan oleh pejabat, pemuka masyarakat, pemuka agama yang terjebak dengan mereligiuskan kepentingan mereka sehingga membuat masyarakat muak. Kemunafikan terjadi dimana ajaran agama yang seharusnya lebih banyak dilakukan ternyata lebih banyak dikatakan.

Tanda-tanda jaman tersebut seharusnya secara cerdas harus kita sikapi, bagamana bisa sebuah negara Indonesia yang mengaku religius bisa menyimpang dari norma-norma kebenaran yang seharusnya merupakan inti dari religiusitas itu sendiri. Ajaran Agama disobek-sobek sedemikian rupa demi untuk justifikasi kepentingan politis individu dan golongan. Kebingungan akan semakin melanda bagi kebanyakan orang, dikarenakan pemeluk agama di negara kita merupakan pemeluk agama yang awam. Agama bagi sebagian masyarakat kita sekedar merupakan simbol yang diwariskan secara turun temurun.

Untuk itu, mari kita sama-sama menyadari pentingnya profesionalitas. Sebuah tatanan selamanya tidak akan benar dan akan chaos jika melupakan profesinalisme. Profesinalisme yang mendudukkan orang pada tempatnya dengan benar sesuai tugas dan fungsinya. Ulama harus menyadari posisinya sebagai panutan, yang bisa memberikan keteladanan dan pembelajaran. Pemimpin juga harus menyadari posisinya untuk mengayomi dan bukan menguasai, masyarakat beragama juga harus cerdas dan profesional dalam menjalankan agamanya dengan semakin mempelajari dengan benar esensi dari ajaran agama. Yang mengaku tidak beragama pun harus juga profesional bahwa semangat-semangat humanisme tidak akan membuat orang menjadi maling, koruptor ataupun menyakiti sesama, karena secara moral itu salah dan menimbulkan ketidakharmonisan kehidupan.

Menutup tulisan ini saya ingatkan sebuah sabda Rasullullah SAW, pribadi yang saya anggap sebagai teladan:

“Tanyakan pada hatimu sendiri! Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan hatimu tenteram, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meski telah berulang kali manusia memberi fatwa kepadamu.” 

HR Imam Ahmad 





Comments

Popular Posts